Alkisah ada seorang anak perempuan pemberani, bernama Danielle de Barbarac. Setting di Perancis sekitar tahun 1500-an.
Cerita dimulai dengan kisah ketika ia kehilangan ayahnya sewaktu masih belia dan terpaksa harus hidup bersama ibu dan saudara tirinya. Ibu kandungnya telah lebih dahulu wafat.
Danielle tumbuh menjadi wanita yang tegar, berwatak keras agak sedikit tomboy. Namun demikian ia punya prinsip luhur yang selalu dipegang kokoh. Tidak mau ditindas begitu saja, dan selalu berusaha membela kaum miskin dan lemah.
Cerita di-fast-forward sedikit,
Danielle berusaha membebaskan seorang miskin yang ditangkap karena mencuri dan akan dijual ke amerika oleh pihak kerajaan sebagai hukumannya. (Menarik untuk diingat bahwa waktu itu amerika adalah tempat buangan yang dibenci sekaligus ditakuti orang).
Ketika ia sedang berdebat dengan prajurit pengawal, pangeran yang sedang keliling negri datang, dan perdebatan diantara keduanya pun terjadi. Sang pangeran bertanya, mengapa menurut Danielle si tawanan itu harus dibebaskan.
Dan ini yang menarik buatku, Danielle menjawab, aku re-phrase sedikit dengan kata-kata ku sendiri berdasarkan ingatan yang sudah mulai penuh ini ya:
"Ketika sebuah negeri tidak memberikan sarana dan prasarana untuk rakyatnya, memberikannya kesejahteraan dan pendidikan yang layak, "
"ketika kemudian rakyat itu tumbuh dengan pengetahuan dan kesejahteraan yang minim, dan mereka melakukan kejahatan karenanya, "
"maka siapakah yang harusnya ditangkap? Rakyat itu atau sang Penguasa negeri? Siapakah sebenarnya si penjahat itu?"
Pangeran tercekat, tak bisa menjawab.
Dan akhirnya tawanan itu pun dibebaskan.
Cerita selanjutnya sebagaimana kisah Cinderella, setelah melewati berbagai aral melintang, they live happily ever after.
---
Dialog itu menyentakkan. Menggugat.
Siapakah sesungguhnya (yang telah menjadi) penjahat itu?
Namun kenyataan masa kini sebetulnya lebih menyentak lagi. Ketika kesempatan sebetulnya terbuka lebar, tapi jalan yang ada seringkali penuh rintangan, hingga membuat langkah menuju pintu itu pun tersendat atau bahkan terhalang.
Orang sosialis-komunis mungkin akan teriak "Pemerintah menyengsarakan rakyat! Pengangguran meningkat, harga-harga kebutuhan pokok membengkak!".
Namun para kapitalis (yang seringkali didukung pemerintah karena mungkin punya lebih banyak sumber daya) juga bisa balas mencemooh: "Kalian saja yang tidak pandai memanfaatkan kesempatan, lebih sering merusak daripada membangun. Pemalas-pemalas yang harusnya bersyukur kami masih mau membiayai sistem yang menyokong kehidupan kalian!".
Can't we all take one step back?
Measure ourselves, what went wrong?
Or we will just let the sad fact that Evil,
no matter how we fight it,
will always prevails...
I hope the answer is an optimistic no, we will never rest to continue refine and improves our lives.
And that evil, shall not prevail!
Wednesday, January 17, 2007
Thursday, January 11, 2007
Matiin Sentral
Latar Masa: Dulu waktu jaman masih indah di Banda Aceh.
Terjadi banjir bandang, mirip dengan banjir di Kuala Simpang baru-baru ini. Daerah rumahku termasuk salah satu yang kurang beruntung dan terkena luapan air sungai waktu itu. Walau termasuk daerah yang terakhir kena luapan itu, cukup repot juga mengamankan barang-barang kami waktu itu.
Karena menganggap rumah kami tak akan terkena banjir itu, kami tidak tergesa bertindak dalam menyelamatkan barang-barang kami, baru setelah air mulai naik kami bergerak. Dan ini rupanya keputusan telat, ketika air sudah sampai setinggi dada kami masih harus bekerja menyelamatkan barang-2 yang bisa diselamatkan. Bantuan teman-teman sangat berharga waktu itu.
Sementara itu, pekerjaan berat di kantor tetap menanti. Sehubungan dengan banjir itu, semua sarana listrik dan komunikasi terputus atau terpaksa diputuskan untuk mencegah hal-hal yang lebih tidak enak lagi.
Pada saatnya tiba juga giliranku untuk mematikan sentral-ku. Waktu itu baru malamnya aku bisa mengerjakan itu. Itupun setelah diskusi akhir dengan bos-bos di Medan yang tidak selesai karena komunikasi keburu terputus. Dengan ditemani oleh Mirza dan Ibu Siti Syarinah dan siapa lagi ya? Kami berangkat ke gedung sentral.
Disana tanpa listrik yang artinya tanpa lampu, aku harus belajar untuk mematikan sentral itu, dan musti secepatnya juga, karena jika kapasitas batere habis, maka sentral itu bisa mati diluar keinginannya. Bisa susah nanti kalau mau menghidupkan dia lagi.
Mumpung kapasitas batere masih cukup, aku gunakan untuk menyalakan komputer dan printerku, membuka file-file dokumentasi dan mencari panduan untuk mematikan sentral. Perlu diingat waktu itu karena komunikasi sudah terputus, aku tak bisa lagi berkoordinasi dengan siapapun untuk melakukan ini.
Dokumentasi ketemu, kucetak semuanya. Lalu kubawa ke tempat perangkat-perangkat lucu itu berada. Dengan berbekal senter, aku baca, dan baca, dan baca lagi berulang-ulang memastikan tak ada yang terlewat. Akhirnya, bismillah, dan mulai kumatikan sentral itu.
Sekarang sich 'udah gak inget lagi gimana cara-cara-nya dan kalau disuruh ngulang, tentunya mendingan dengan bimbingan daripada manual pilot seperti itu. Namun mengingat betapa sentral itu biasanya justru adalah sistem yang tidak boleh dimatikan sembarangan, dan harus selalu dijaga, pengalaman mematikannya sungguh sangat, mmm... berkesan?
Waktu menghidupkannya lagi sayangnya aku gak ikut, karena waktu itu sudah banyak orang-orang datang, kemudian rumahku juga airnya sudah surut, jadinya aku sibuk membersihkan rumah itu yang pekerjaannya gak kalah gilanya. Pernah gak kena banjir sampai 2 meter? Lumpurnya itu lho.
Lagian dulu waktu baru dateng ke Banda Aceh, aku pernah juga melihat sentral itu dihidupkan setelah baru saja selesai instalasi. Ini cerita lain lagi di lain waktu.
Terjadi banjir bandang, mirip dengan banjir di Kuala Simpang baru-baru ini. Daerah rumahku termasuk salah satu yang kurang beruntung dan terkena luapan air sungai waktu itu. Walau termasuk daerah yang terakhir kena luapan itu, cukup repot juga mengamankan barang-barang kami waktu itu.
Karena menganggap rumah kami tak akan terkena banjir itu, kami tidak tergesa bertindak dalam menyelamatkan barang-barang kami, baru setelah air mulai naik kami bergerak. Dan ini rupanya keputusan telat, ketika air sudah sampai setinggi dada kami masih harus bekerja menyelamatkan barang-2 yang bisa diselamatkan. Bantuan teman-teman sangat berharga waktu itu.
Sementara itu, pekerjaan berat di kantor tetap menanti. Sehubungan dengan banjir itu, semua sarana listrik dan komunikasi terputus atau terpaksa diputuskan untuk mencegah hal-hal yang lebih tidak enak lagi.
Pada saatnya tiba juga giliranku untuk mematikan sentral-ku. Waktu itu baru malamnya aku bisa mengerjakan itu. Itupun setelah diskusi akhir dengan bos-bos di Medan yang tidak selesai karena komunikasi keburu terputus. Dengan ditemani oleh Mirza dan Ibu Siti Syarinah dan siapa lagi ya? Kami berangkat ke gedung sentral.
Disana tanpa listrik yang artinya tanpa lampu, aku harus belajar untuk mematikan sentral itu, dan musti secepatnya juga, karena jika kapasitas batere habis, maka sentral itu bisa mati diluar keinginannya. Bisa susah nanti kalau mau menghidupkan dia lagi.
Mumpung kapasitas batere masih cukup, aku gunakan untuk menyalakan komputer dan printerku, membuka file-file dokumentasi dan mencari panduan untuk mematikan sentral. Perlu diingat waktu itu karena komunikasi sudah terputus, aku tak bisa lagi berkoordinasi dengan siapapun untuk melakukan ini.
Dokumentasi ketemu, kucetak semuanya. Lalu kubawa ke tempat perangkat-perangkat lucu itu berada. Dengan berbekal senter, aku baca, dan baca, dan baca lagi berulang-ulang memastikan tak ada yang terlewat. Akhirnya, bismillah, dan mulai kumatikan sentral itu.
Sekarang sich 'udah gak inget lagi gimana cara-cara-nya dan kalau disuruh ngulang, tentunya mendingan dengan bimbingan daripada manual pilot seperti itu. Namun mengingat betapa sentral itu biasanya justru adalah sistem yang tidak boleh dimatikan sembarangan, dan harus selalu dijaga, pengalaman mematikannya sungguh sangat, mmm... berkesan?
Waktu menghidupkannya lagi sayangnya aku gak ikut, karena waktu itu sudah banyak orang-orang datang, kemudian rumahku juga airnya sudah surut, jadinya aku sibuk membersihkan rumah itu yang pekerjaannya gak kalah gilanya. Pernah gak kena banjir sampai 2 meter? Lumpurnya itu lho.
Lagian dulu waktu baru dateng ke Banda Aceh, aku pernah juga melihat sentral itu dihidupkan setelah baru saja selesai instalasi. Ini cerita lain lagi di lain waktu.
Tuesday, January 09, 2007
Berapa Rupiah?
Salah satu masalah utama dalam perencanaan jaringan telekomunikasi yang sudah sangat kompleks dan luar biasa besarnya adalah menentukan parameter-paremeter acuan yang bisa se-optimal mungkin menghasilkan revenue alias duit.
Dan ini, tidak pernah mudah, atau bahkan pasti.
Saking banyaknya parameter yang saling terkait dan menentukan membuat segala macam prediksi dengan menggunakan beragam model mulai dari yang se-sederhana rumus-rumus Erlang sampai rumus-rumus stochastics dengan simbol ular berdiri hingga pangkat tiga (integral -red) sekalipun tingkat keakuratan-nya seringkali tidak jauh berbeda.
Dan sering juga meleset :-)
Tren yang lagi lucu belakangan ini adalah pertanyaan "berapa nilai rupiah-nya?". Cakupan-nya bisa macam-macam, bisa mulai dari "kalau begini berapa rupiah yang kita dapat?" hingga "berapa rupiah yang kita buang?" atau sering juga begini, "berapa nilai rupiah implementasi barang ini?"
Satu bentuk pertanyaan ini yang cukup sulit untuk dijawab adalah "Berapa potensi nilai rupiah (baca: revenue) dari implementasi 1 trunk E1?"
Bila ingin _mencoba_ menjawab pertanyaan ini, kita harus kenal dulu beberapa terminologi di dunia jaringan telekomunikasi, misalnya "trunk", "E1", kemudian kenalan juga dengan Mbah Erlang, lalu "Routing" kemudian juga musti mempelajari hal-hal seperti CDR (call data record), lalu perhitungan target pengguna jaringan, dan hal-hal zhin-ding lainnya.
Rumit dech.
Lanjutnya kapan-kapan ya...
Dan ini, tidak pernah mudah, atau bahkan pasti.
Saking banyaknya parameter yang saling terkait dan menentukan membuat segala macam prediksi dengan menggunakan beragam model mulai dari yang se-sederhana rumus-rumus Erlang sampai rumus-rumus stochastics dengan simbol ular berdiri hingga pangkat tiga (integral -red) sekalipun tingkat keakuratan-nya seringkali tidak jauh berbeda.
Dan sering juga meleset :-)
Tren yang lagi lucu belakangan ini adalah pertanyaan "berapa nilai rupiah-nya?". Cakupan-nya bisa macam-macam, bisa mulai dari "kalau begini berapa rupiah yang kita dapat?" hingga "berapa rupiah yang kita buang?" atau sering juga begini, "berapa nilai rupiah implementasi barang ini?"
Satu bentuk pertanyaan ini yang cukup sulit untuk dijawab adalah "Berapa potensi nilai rupiah (baca: revenue) dari implementasi 1 trunk E1?"
Bila ingin _mencoba_ menjawab pertanyaan ini, kita harus kenal dulu beberapa terminologi di dunia jaringan telekomunikasi, misalnya "trunk", "E1", kemudian kenalan juga dengan Mbah Erlang, lalu "Routing" kemudian juga musti mempelajari hal-hal seperti CDR (call data record), lalu perhitungan target pengguna jaringan, dan hal-hal zhin-ding lainnya.
Rumit dech.
Lanjutnya kapan-kapan ya...
Subscribe to:
Posts (Atom)