Ok, kita coba mulai dengan memahami apa yang terjadi.
Mungkin karena pede akan kekuatan ekonomi dan kuasanya di dunia, institusi keuangan Amerika berani mengucurkan kredit perumahan kepada para peminjam yang sebetulnya agak diragukan kemampuan pelunasannya (disebut "subprime"). Bukan cuma itu, syarat-syarat peminjaman pun dipermudah, sementara batas kredit dipertinggi.
Lalu sekitar tahun 2005-2006, berlanjut ke 2007, indikasi masalah di sektor kredit perumahan ini mulai keliatan. Banyak pinjaman yang gagal bayar (disebut "default"). Kegagalan bayar ini menumpuk hingga kelevel mengkhawatirkan.
Untuk memahami kenapa itu mengkhawatirkan, kita perlu pelajari dulu bagaimana proses pinjam-meminjam duit ini terjadi.
- Aku gesek kartu kredit buat beli baju baru Lebaran.
- Visa atau Mastercard atau Bank Kartu kreditku kemudian ditagih sama Matahari Department Store.
- Kalo cuman aku yang kredit, pasti mereka langsung bayar (berapa sich harga bajuku?). Namun, karena yang kredit banyak, bagaimana dong mereka bayarnya? Ternyata ada beberapa cara:
- Ambil dari duit deposito para nasabah mereka. Ini bahaya, kalo tiba2 para nasabah mau narik duitnya, gimana?
- Pinjem dari bank lain, atau dari bank central. Boleh juga, tapi bunganya tinggi, lebih tinggi dari suku bunga yang mereka tagihkan di kartu kredit ku.
- Bikin utangku ini jadi semacam surat berharga yang bisa menarik para investor untuk membayarkannya dan mendapat presentase bunganya. Hehehe memangnya aku siapa? Kalau aku pemerintah sich, lain cerita.
Bagaimanapun ada titik dimana para bank itu tidak bisa memaksa menagihkan kredit mereka, paling banter mereka bisa menyita asset saja. Iya kalo assetnya bagus, kalo baju yang kubeli itu udah bolong dan bau asem? Wah... gawat dech pokoknya, udah gak dapet duit, dapet baju bolong2 bau asem lagi. Jualnya kemana coba?
Sementara itu, bank-bank itu tetap akan ditagih duit yang mereka pakai tadi. Kalo ini terus menerus terjadi, mereka bisa merugi besar2an, bangkrut dan tutup. Ini kita saksikan terjadi pada Citigroup (merugi besar2an), Bear Stearns (yang 'masih untung' dibeli oleh JP Morgan Chase, walau dengan harga obral), dan terakhir Lehman Brothers, yang harus bangkrut setelah berdiri lebih dari 150 tahun.
Disini mulai keliatan gak titik bahayanya? belum ya? Begini, kalo banyak bank-2 ditutup, apalagi bank2 besar, banyak hal buruk yang bisa terjadi, yang kebayang diantaranya:
- Orang akan kawatir dan melakukan penarikan dana besar2an.
- Orang2 yang default tadi, terpaksa kehilangan asset mereka, bisa baju bolong, bisa juga tempat tinggal mereka. Ini bisa bikin kualitas hidup mereka menurun dan mungkin lebih buruk lagi.
- Tingkat pengangguran meningkat karena pemecatan2 yang terjadi di bank2 itu (dan lihat juga dibawah untuk cerita lanjutannya).
- Salah satu yang paling bahaya adalah hilangnya suatu hal yang disebut Ben Bernanke sebagai "Informational Capital" dibawa mati oleh bank-bank bangkrut tadi. Yaitu informasi-informasi sektor perbankan, utamanya mengenai status sejarah para kreditur. Tanpa informasi-informasi ini bank akan ragu, atau lebih susah, untuk memberikan pinjaman. Karena ragu memberikan pinjaman, akhirnya mereka terpaksa merugi karena harus membayar bunga deposito nasabah, lalu kemudian mereka ikutan bangkrut Sebenernya gak musti serem begini sich, ada juga cara-cara lain untuk bank-bank itu bisa meraup untung walau sedikit, tapi itupun untuk jangka pendek saja.
Pertama, banyak orang gak bisa beli rumah, akibatnya sektor jual beli properti akan hancur, akibatnya para pengembang menengah akan bangkrut juga. Terus banyak orang cuman bisa sewa rumah, terus kita kembali ke jaman tuan tanah berjaya. Tuan-tanah2 itu akan makin kaya-raya, terus aku, errr..., kita akan selamanya tinggal di tanah sewaan dari mereka sambil meratapi nasib. Hiks.
Itu baru dari sektor pinjem duit buat membeli asset, belum lagi pinjem buat konsumsi, terus bagaimana dengan sektor pinjem buat usaha? Kalo sektor perbankan ragu2 untuk mengucurkan kredit, maka banyak orang yang punya ide2 bagus jadi gak bisa minta duit supaya ide2-nya jadi usaha yang menguntungkan, akibatnya pengangguran meningkat, dan seterusnya.
Pendek kata, tanpa (pinjaman dari) bank, roda ekonomi tak bergerak, tanpa perputaran ekonomi, bank-bank bangkrut juga. Walah, ini mana telor mana ikannya nich. Aku jadi pusing sendiri.
"Ah, itu kan cuman terjadi di Amerika", katamu?
Sayangnya di jaman globalisasi ini, ekonomi semua negara saling terkait. Misalnya krisis di Amerika terjadi, terus orang Amerika pada gak mau beli baju tanah abang lagi, maka bisa-bisa banyak pedagang baju tanah abang bangkrut.
Bisa juga dari segi investasi, banyak lho investor dari berbagai negara yang menginvestasikan duitnya di Amerika, baik langsung ke pasar Amerika (modal maupun riil) ataupun ke pemerintah Amerika dengan membeli surat utang pemerintahan. Data Juli 2008 menyebutkan 3 negara dengan investasi terbanyak disini adalah Jepang, Cina dan Inggris.
Nah kalo Amerika bangkrut dan gak bisa bayar cicilan surat utangnya, maka 3 negara ini bisa ikutan nangis. Dan kalo 3 negara ini ikutan nangis, maka terjadi lagi efek bola salju, negara2 yang bergantung kepada negara2 yang bergantung kepada Amerika bisa ikutan nangis, terus, terus, terus...
Belum lagi kalo bank-bank kita juga ternyata termasuk yang ikutan memberikan duit untuk kredit perumahan itu (lewat mekanisme surat berharga tadi). Wah, bisa-bisa bank-bank kita ikutan bangkrut. Terus nular dech krisis itu disini.
All in all, tanda-tanda akan depresi besar seperti tahun 1930-an memang sudah mulai kerasa.
Kemudian mari kita coba instropeksi diri. Perekonomian di Indonesia sendiri saat ini punya masalah yang tidak jauh berbeda dengan Amerika. Ekonomi kita cenderung berjalan karena konsumsi, dan konsumsi ini sebagian besar berasal dari utang kredit.
Seburuk apa keadaannya disini? Aku belum tahu.
---
Referensi:
http://accruedint.blogspot.com/
http://www.nytimes.com/
http://finance.yahoo.com/
http://wikipedia.org/