Thursday, January 11, 2007

Matiin Sentral

Latar Masa: Dulu waktu jaman masih indah di Banda Aceh.

Terjadi banjir bandang, mirip dengan banjir di Kuala Simpang baru-baru ini. Daerah rumahku termasuk salah satu yang kurang beruntung dan terkena luapan air sungai waktu itu. Walau termasuk daerah yang terakhir kena luapan itu, cukup repot juga mengamankan barang-barang kami waktu itu.

Karena menganggap rumah kami tak akan terkena banjir itu, kami tidak tergesa bertindak dalam menyelamatkan barang-barang kami, baru setelah air mulai naik kami bergerak. Dan ini rupanya keputusan telat, ketika air sudah sampai setinggi dada kami masih harus bekerja menyelamatkan barang-2 yang bisa diselamatkan. Bantuan teman-teman sangat berharga waktu itu.

Sementara itu, pekerjaan berat di kantor tetap menanti. Sehubungan dengan banjir itu, semua sarana listrik dan komunikasi terputus atau terpaksa diputuskan untuk mencegah hal-hal yang lebih tidak enak lagi.

Pada saatnya tiba juga giliranku untuk mematikan sentral-ku. Waktu itu baru malamnya aku bisa mengerjakan itu. Itupun setelah diskusi akhir dengan bos-bos di Medan yang tidak selesai karena komunikasi keburu terputus. Dengan ditemani oleh Mirza dan Ibu Siti Syarinah dan siapa lagi ya? Kami berangkat ke gedung sentral.

Disana tanpa listrik yang artinya tanpa lampu, aku harus belajar untuk mematikan sentral itu, dan musti secepatnya juga, karena jika kapasitas batere habis, maka sentral itu bisa mati diluar keinginannya. Bisa susah nanti kalau mau menghidupkan dia lagi.

Mumpung kapasitas batere masih cukup, aku gunakan untuk menyalakan komputer dan printerku, membuka file-file dokumentasi dan mencari panduan untuk mematikan sentral. Perlu diingat waktu itu karena komunikasi sudah terputus, aku tak bisa lagi berkoordinasi dengan siapapun untuk melakukan ini.

Dokumentasi ketemu, kucetak semuanya. Lalu kubawa ke tempat perangkat-perangkat lucu itu berada. Dengan berbekal senter, aku baca, dan baca, dan baca lagi berulang-ulang memastikan tak ada yang terlewat. Akhirnya, bismillah, dan mulai kumatikan sentral itu.

Sekarang sich 'udah gak inget lagi gimana cara-cara-nya dan kalau disuruh ngulang, tentunya mendingan dengan bimbingan daripada manual pilot seperti itu. Namun mengingat betapa sentral itu biasanya justru adalah sistem yang tidak boleh dimatikan sembarangan, dan harus selalu dijaga, pengalaman mematikannya sungguh sangat, mmm... berkesan?

Waktu menghidupkannya lagi sayangnya aku gak ikut, karena waktu itu sudah banyak orang-orang datang, kemudian rumahku juga airnya sudah surut, jadinya aku sibuk membersihkan rumah itu yang pekerjaannya gak kalah gilanya. Pernah gak kena banjir sampai 2 meter? Lumpurnya itu lho.

Lagian dulu waktu baru dateng ke Banda Aceh, aku pernah juga melihat sentral itu dihidupkan setelah baru saja selesai instalasi. Ini cerita lain lagi di lain waktu.

4 comments:

Anonymous said...

kebayang sich rasanya,
shut down mesin ajaib seperti itu ... :)

masa2 indah ...

dei
---

Anonymous said...

Lah? berarti dari dulu sampek sekarang Banda Aceh langganan Banjir yah Rief? Hmm.. Kebayang nggak daerah Lampineung (tempat ngekos) yg lumayan tinggi ajah aernya se-PAHA? Konon kuala simpang yg rata-rata sungai, DEM!

Been 10 months here and the most of ma fear is.. Hell yeah, aerrrr!!! ^_^

Anonymous said...

Hai Arief apakabar jadi ingat banjir lagi tapi sekarang sentral udah aman kok, kamu juga amankan

Anonymous said...

hmm....
sekarang memang masih musim banjir. Kalau sama ujan, kita bisa bilang "sedia payung sebelum hujan". Tapi kalo sama banjir, ya.. "sedia sampan sebelum banjir.." ...